Jumat, 26 September 2008

Orang yang Beruntung

Dr H Shobahussurur MA - detikRamadan

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran”. (Q.S. al-’Ashr/103: 1-3.)

Orang yang tidak akan merugi selama hidupnya, sebagaimana yang disinyalir dalam surat di atas adalah orang yang memiliki: (1) keimanan prima, (2) amal saleh yang berkelanjutan, dan (3) kesiapan memberi dan menerima nasihat dan kebenaran dan kesabaran.

Keimanan yang prima dimaksudkan agar manusia itu memiliki ketetapan yang mantap dalam hidup, mengetahui asal usul dia hidup, apa tujuan hidup, dan ke mana akhir dari kehidupan ini. Dengan keimanan itu dia tidak ragu-ragu dalam bertindak. Dia telah memiliki petunjuk dari Penciptanya dan sangat yakin akan kebenaran petunjuk itu. Oleh karena itu dia akan bertindak secara dinamis, kreatif, dan dengan penuh optimis. Dia akan berbuat apa saja untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama, sesuai dengan alur dan arah petunjuk itu.

Selanjutnya, dia tidak takut apalagi ragu-ragu untuk bertindak selama petunjuk Sang Pencipta itu tidak melarangnya. Dengan keimanan itu, semua makhluk mempunyai status sama, tidak ada hirarki atas-bawah, lemah-kuat, atau kuasa-menguasai. Yang ada adalah penghambaan secara mutlak (total) kepada Sang Pencipta itu, tanpa pernah menghambakan diri kepada sesama makhluk.

Buah dari keimanan yang prima itu adalah kesediaan seorang untuk selalu berbuat baik (‘amal shâlih) dan menjauhkan diri dari perbuatan tercela. Kesediaan untuk berbuat baik sebenarnya merupakan pengorbanan yang luar biasa, karena berbuat baik berarti bersedia untuk meninggalkan kungkungan hawa nafsu yang cenderung untuk membawa manusia kepada perbuatan baik. Hawa nafsu cenderung membawa seseorang untuk memperoleh kesenangan sesaat, sangat pribadi, dan merusak. Meredam hawa nafsu artinya kesiapan untuk menunda kesenangan sekarang demi kebaikan masa datang, kesiapan untuk mengedepankan kepentingan orang lain (ummah) di atas kepentingan pribadi, dan kesiapan untuk membangun dan menumbuhkembangkan potensi yang telah ada melalui karsa dan karya yang bermanfaat bagi semua.

Salah satu amal shalih yang secara khusus disebutkan dalam surat di atas adalah kesediaan seseorang untuk saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Hal itu disinyalir karena manusia cenderung berbuat semaunya, mau menang sendiri, sombong, dan menonjolkan kelebihannya. Manusia sering tidak siap untuk diperingati, dikritik, apalagi dinasihati. Dia cenderung minta didengarkan tapi tidak mau mendengarkan, cenderung untuk minta dilihat dan diperhatikan tapi tidak mau melihat. Semakin berkuasa, seseorang cenderung semakin buta dan tuli. Buta terhadap kondisi sosial masyarakatnya, dan tuli terhadap jeritan rakyat kecil dan nasihat orang bijak. Buta mata hatinya dan tuli “telinga” nuraninya. Maka kesediaan untuk saling nasihat menasihati, ditekankan oleh Allah sebagai amal kebajikan utama yang tak boleh diabaikan, apalagi nasihat-menasihati itu berkaitan dengan al-haq (kebenaran).

Dalam kondisi krisis seperti sekarang ini, kita terkadang lalai terhadap tugas yang semestinya kita lakukan sebagai pengabdi mutlak kepada Allah. Kita terkadang tidak lagi memperbanyak berbuat baik, tapi malah tidak tahu lagi mana yang baik dan mana yang buruk. Lagi-lagi kita kembali kepada watak kebinatangan kita yang cenderung ingin mendapatkan kesenangan sesaat tanpa memperhitungkan akibatnya. “Sungguh beruntung orang mensucikan jiwanya dan sungguh merugi orang yang mengotorinya”. (Q.S. al-Syams/91: 9-10).

*) Dr. H. Shobahussurur, M.A.; Ketua Takmir Masjid Agung Al Azhar
(

Tidak ada komentar: